Strategi Membangun Sumber Daya Manusia Bidang Pertanian

Sabtu, 15 Mei 2010

Tingkat kemiskinan di pedesaan telah menurun selama satu dasawarsa terakhir, terutama karena kemajuan mengesankan yang terjadi di China. Namun, 75 persen kaum miskin dunia masih berada di wilayah-wilayah pedesaan dan tingkat kemiskinan pedesaan tetap tinggi di Asia Selatan dan Afrika sub-sahara. Pengentasan kemiskinan pedesaan menyumbang lebih dari 45% pengentasan kemiskinan keseluruhan itu. jurang pemisah pendapatan antara desa-kota telah menyempit di sebagian besar wilayah di dunia kecuali Asia, dimana jurang pemisah yang melebar menjadi salah satu sumber pemisah salah satu sumber ketegangan politik dan menjadi motif untuk upaya-upaya baru guna merangsang pembangunan pertanian dan pedesaan. (World Development Report, 2008)


Berbicara tentang pembangunan pertanian pasti tidak akan terlepas dari yang namanya desa, petani, kemiskinan, dan komoditi pertanian itu sendiri. Berbagai teori mengenai pembanguan oleh para ahli terus menerus digali, dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang kian beragam (Hettne, 2001). Hal itu dilakukan demi mencapai suatu cara pandang yang tepat dalam rangka mengangkat objek pembangunan itu menuju suatu kesejahteraan (dalam hal ini melalui pertanian).

Memang berbicara tentang pembangunan pertanian merupakan sutu hal yang tak ada habisnya, kendatipun kita mengetahui peran pertanian bagi kehidupan manusia. Maka beranjak dari sini akan banyak pertanyaan yang timbul. ”Apakah benar Ilmu pembangunan dan pembicaraan tentangnya masih diperlukan? Kalau memang benar, lantas mengapa proses pembangunan pertanian itu tidak pernah selesai?” Dan seterusnya. Sehingga pada sebuah pertanyaan ”apa standar kesejahteraan yang dapat diraih melalui pembangunan pertanian tersebut?”

Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan hal yang timbul secara lumrah (menurut penulis). Terlebih bagi masyarakat yang hidup pada dunia ketiga, yang mayoritas mereka bersentuhan dengan lingkaran setan pertanian negerinya. Namun demikian dalam tulisan singkat ini penulis tidak akan menjawab semua pertanyaan tersebut. Akan tetapi disini kita akan coba menggali sedikit dimensi pembangunan pertanian tersebut, dimana pembahasannya akan di titik beratkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) pertanian tersebut. Hal ini mengingat aktor utama dalam pengelolaan pertanian tersebut, serta pihak yang paling merasakan implikasi dari berhasil tidaknya pembangunan pertanian dalam suatu negeri adalah petani. Oleh karena itu pengembangnnya menjadi suatu yang niscaya.

Pertama-tama kita coba untuk merefleksikan beberapa pandangan mengenai pembangunan pertanian tersebut. Setelah itu kita akan coba melihat permasalahan-permasalahan SDM perrtanian tersebut, serta pendekatan-pendekatan yang mungkin bisa digunakan dalam menganalisanya.

Terakhir akan coba ditawarkan solusi-solusi yang mungkin digunakan dalam memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut.

Refleksi Teori Pembangunan Pertanian

Pembangunan menjadi suatu hal yang menarik untuk dipelajari. Ketertarikan mengenai hal ini mucul sejak berakhirnya perang dunia II. Sukirno (2006) mengemukakan beberapa hal yang membuat banyak pihak tertarik dengan hal ini:


1.
Keinginan negara berkembang untuk mengatasi keterbelakangan

Setelah berakhirnya perang dunia, maka banyak negara-negara baru bermunculan. Tidak jarng dari mereka berada dalam posisi negara terbelakang/ miskin. Maka beranjak dari sinilah timbul semangat kebangsaan mereka untuk bangkit mensejahterakan kehidupan masyarakatnya.


2. Sebagai usaha membantu mewujudkan pembangunan ekonomi untuk menghambat perkembangan
Setelah berakhirnya perang dunia II terjadilah apa yang dianamakan Perang Dingin. Dunia terbagi menjadi dua blok besar. Yakni, blok barat yang menganut paham liberal (diwakili Amenrika Serikat), dan blok timur yang menganut paham komunis (yang diwakili Uni Soviet). Kedua blok ini memiliki keinginan untuk menghegemonikan paham yang dianutnya di seluruh dunia. Maka negara yang paling rentan terhadap hegemoni ini adalah negara-negara yang baru bermunculan pasca perang dunia II. Amerika sebagai wakil dari blok barat dalam hal ini gencar sekali memberikan bantuan terhadap negara-negara miskin baru tersebut dengan maksud negara-negara tersebut tidak menjadi pendukung komunis.


3.
Sebagai usaha untuk meningkatkan hubungan
Umumnya negara-negara bekas jajahan merupakan negara yang kaya akan sumber alam, oleh karena itu pnjagaan hubungan antara negara maju dan negara baru tersebut akan melanggengkan kegiatan perekonomian antara kedua negara.


4.
Berkembangynya keinginan untuk membantu negara berkembang.
Pada awal tahun 50-an kurang dari tiga perempat penduduk dunia berada di negara berkembang (baru), dengan taraf kemakmuran berada dibawah negara maju. Hal ini menimbulkan minat dari negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang. Bantuan diberikan melalui berbagai macam cara, seperti pemberian dana bantuan, pengiriman tenaga ahli, pemberian bahan makanan, maupun pembangunan infrastruktur.

Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwa objek utama dari pembangunan tersebut adalah negara dunia ketiga/ berkembang (termasuk Indonesia). Selain itu pengaruh negara-negara yang telah lebih dahulu berkembang/ maju (negara-negara dunia pertama dan kedua) sangat besar perannya.

Namun demikian terlalu besarnya pengaruh pemikiran pembangunan negara maju kadang menimbulkan masalah bagi negara berkembang –yang menerapkan asas-asas pembangunan mereka. Sebagai mana disebutkan Hettne (2001) bahwa negara dunia ketiga bersifat khusus dan secara kualitatif berbeda dengan negara pertama (kapitalis), maupun negara kedua (sosialis dahulu). Sehingga tidak jarang solusi-solusi pembangunan yang ditawarkan oleh negara-negara tersebut tidak tepat sasaran, walaupun telah mengahbiskan dana bantuan yang sangat banyak. Hal inilah yang dikritisi oleh M. Yunus (2007) terhadap kebijakan pinjaman yang diberikan negara-negara donor yang diwakilkan oleh Bank Dunia dan IMF, dalam menanggulangi kemiskinan di Filipina. Oleh karena itu dalam proses pembangunan pendekatan-pendekatan yang digunakan hendaknya memiliki kearifan lokal.

Sehingga
teori-teori pembangunan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yang berkembang secara tesis dan antitesis yang perkembangannya mengikuti wacana teori dan aksi secara berulang-ulang (Syahyuti). Pada tahap pertama muncul Teori Modernisasi yang berada dalam kerangka Teori Evolusi. Teori ini muncul di AS yang mengaplikasikannya dalam Program Marshal Plan. Karena ada ketidakpuasan terhadap pola pembangunan ini, maka kemudian lahir Teori Ketergantungan (Dependency Theory) yang memiliki sisi pandang dari negara-negara dunia ketiga yang berada dalam posisi tergantung terhadap negara-negara maju. Terakhir, untuk cara pandang yang lebih sempurna, lahir Teori Sistem Dunia (The World System Theory), dimana dunia dipandang sebagai sebuah sistem yang sangat kuat yang mencakup seluruh negara di dunia, yaitu sistem kapitalisme.

Strategi pembangunan pertanian dan pedesaan di Indonesia sendiri mengalami perubahan pendekatan yang sangat menarik, sehingga secara sederhana bisa dipetakan ke dalam tiga fase yang khas (distinct) (Dharmawan, 2006)


Fase Pertama: Ideologi Modernisme Tumbuh dan Menguat


Pada 25 tahun pertama sejak kemerdekaan 17-08-1945, pembangunan pedesaan lebih banyak menempuh pendekatan pemenuhan basic-needs approach. Di tengah-tengah hiruk-pikuknya perubahan politik di masa itu, pendekatan pembangunan ini tampil melalui berbagai program yang sangat memikat seperti pemberantasan buta-aksara, peningkatan pelayanan air-bersih, penekanan angka kematian ibu melahirkan, memperpanjang usia harapan hidup, pemenuhan kebutuhan “sandangpangan-papan” dan yang sejenisnya.

Pada kurun waktu itu, pembangunan pangan dan pertanian pedesaan ditandai juga oleh introduksi teknologi produksi pertanian yang kemudian dikenal sebagai bagian dari revolusi hijau (pengenalan varietas unggul, pupuk buatan, mekanisasi pertanian,irigasi teknis, dan intensifikasi pertanian massal)


Fase Kedua: Ideologi Modernisme dan Industrialisme


Sementara desa terus mengalami perubahan struktural yang luar biasa, pada fase 25 tahun kedua (1970-1995), diperkenalkan pendekatan baru dalam ranah yang secara sederhana disebut sebagai transformasi pedesaan yang agak radikal. Dalam hal ini, ditempuh strategi pembangunan manusia seutuhnya bersama-sama dengan upaya industrialisasi berbasiskan pertanian. Strategi industrialisasi yang diambil menunjukkan bahwa perubahan sosial-ekonomi tetap berjalan dalam ranah developmentalism-modernism.


Fase Ketiga: Penguatan Ideologi Demokratisme dan Populisme

Nasib perjalanan pembangunan pedesaan, sedikit berubah arah pada fase ketiga atau terakhir (sejak tahun 1996). Pada fase ketiga, pembangunan pedesaan menemukan format yang samasekali berbeda dari dua fase sebelumnya. Pada fase terakhir ini, pembangunan pertanian-pedesaan lebih banyak menitik-beratkan pada pemenuhan kebutuhan politik warganya.


Pendekatan Dalam Pengembangan Kwalitas SDM Pertanian


Pembangunan Pertanian tentnya tidak akan terlepas dari pembicaraan mengenai pengembangan kwalitas SDM yang dalam hal ini adalah petani. Data BPS tahun 2007 (per maret 2007) menunjukkan bahwa rata-rata penduduk miskin yang berada di pedesaan sebesar 20,37%. Lebih besar dibandingkan dengan angka kemiskinan diperkotaan sebesar 12,52%. Kondisi ini menggambarkan mayoritas penduduk miskin di Indonesia terletak di pedesaan yang notabene adalah petani. Selain itu ini juga bisa menggambarkan bahwa produktivitas dari petani tersebut masih minim.

Namun demikian, meningkatkan kesejahteraan petani sebatas angka-angka ekonomi bukanlah berarti satu-satunya jalan keluar bagi peningkatan kualitas SDM pertanian tersebut.

Penulis pernah berkesempatan berinteraksi dengan salah seorang Toke (lintah darat) di suatu desa. Dari hasil interaksi dengannya penulis berkesimpulan bahwa motif peminjaman yang dilakukan petani kecil tidqak hanya karena himpitan ekonomi, akan tetapi ada suatu sikap mental dari para petani tersebut yang terbiasa dengan berhutang.

Lain halnya dengan cerita seorang anak petani karet di Jambi, menyangkut penyebab harga karet jatuh di suatu desa adalah karena adanya oknum yang mengoplos karet dengan barang lain.

Dari penjelasan singkat diatas dapatlah disimpulkan bahwa pembangunan SDM pertanian tidak dapat dijelaskan dengan asumsi kebutuhan ekonomi secara linier, namun diperlukan pendekatan yang lebih khusus dalam menganalisa permasalahannya. Oleh karena itu diperlukan pendekatan-pendekatan yang lebih kompleks dalam melihat hal ini. Adi (2007) membagi tiga dimensi dalam melihat suatu pembangunan manusia, yakni:


1. Dimensi Makro

Dimensi ini melihat pembangunan SDM pertanian dari skala kebijakan makro/ meluas. Sehingga analisa gejala sosial yang digunakannya dalam bentuk kerangka yang luas sebagai agregasi-agregasi sosial. Pada level ini peningkatan SDM pertanian memiliki beberapa kendala.

Kendala yang paling utama dalam konteks makro pembangunan SDM pertanian adalah masalah pendidikan dari SDM pertanian itu sendiri. Berkenaan masalah pendidikan di Indonesia, sebenarnya sudah ada kemajuan dalam pemerintahan SBY-JK mengenai peningkatan APBN hingga 20% -walaupun hal tersebut dilakukan secara bertahap. Namun yang perlu diperhatikan bahwa sebesar apapun anggarn yang di berikan pada bidang ini tentunya tidak akan berguna bila dalam pengelolaannya tidak di atur (baca: management) dengan baik, serta aparatnya masih belum memiliki strong and positive will. Terlebih lagi pendidikan bagi insan pertanian yang hingga hari ini masih marginal dibandingkan dengan pendidikan bidang lain.

Selain itu berkaitan dengan kebijakan insentif, hingga hari ini masih belum memihak pada petani indonesia.
Petani masih menjadi penerima persentase keuntungan terkecil dalam rantai tata niaga. Hal ini tentunya menyebabkan kesenjangan ekonomi antara pedagang dan petani, serta memungkinkan terjadinya gejolak sosial (termasuk fenomena yang akan dijelaskan dalam dimensi mikro).

Maka beranjak dari masalah-masalah diatas, adalah hal yang wajar bila sektor pertanian menjadi tidak populer dan orang lebih memimpikan hidup melalui sektor lain (baca: hijrah geografis, maupun moral) yang lebih instan1 dan lebih tinggi insentifnya. Akibatnya orang-orang yang tetap tinggal bersama pertanian lebih cenderung merupakan jalan akhir untuk bertahan hidup.


2. Dimensi Mezzo
Dimensi ini melihat pembangunan SDM pertanian melalui bentuk-bentuk komunitas/ organisasi. Salah satu persoalan dalam konteks ini adalah para pendamping petani yang (terkadang) belum memiliki pemahaman yang mendalam dari materi-materi yang diberikan, maupun pelaksanaan teknis lapangan yang tidak terencana. Sebagai contoh adalah penggalakkan program pembuatan kompos di Limau Manis oleh pemerintah daerah pada para petani, namun petani tidak pernah dilatih/ asistensi tentang pembuatan kompos tersebut. Akibatnya program tersebut tidak dapat dijalankan –karena kendala praktek.
Hal tersebut tentunya amat disayangkan, karena selain program (yang tentunya telah melewati birokrasi yang panjang dalam pengesahannya) tersebut tidak berjalan juga berdampak pada berkurangnya kredibilitas dari para aparat dimata petani (anti trust). Sehingga berdampak pada kelanjutan program pemberdayaan petani selanjutnya.

3. Dimensi Mikro

Dimensi ini melihat pembangunan SDM pertanian dari skala kebijakan mikro. Sehingga analisa gejala sosial yang digunakannya dalam bentuk kerangka motivasi individual. Segelintir pengalaman penulis yang diceritakan diatas, menjelaskan bahwa permasalahan pertanian di Indonesia secara umum, khususnya yang menyangkut kualitas SDM tidak hanya dapat dijelaskan melalui penjelasan ekonomis. Akan tetapi sosial budaya masyarkat sangat berpegaruh di dalamnya.

Cerita-cerita diatas (diantara banyaknya cerita lain di seluruh Indonesia), menunjukkan bahwa ada suatu permasalahan etos kerja yang buruk, mentalitas materialistik, pola pikir yang instan, serta moral dan etika yang tidak terbina. Hal ini menjadi cerminan dari mental korup dan menghalalkan segala cara dalam pembangunan secara umum. Yang tentunya menghambat pembangunan pertanian itu sendiri.


Startegi-Strategi Pengembangan SDM Pertanian Dalam Memecahkan Masalah

Dari tiga dimensi yang telah dijelaskan diatas maka penulis mencoba untuk memberikan tawaran-tawaran kebijakan pembangunan SDM pertanian.

1. Dimensi Makro

a. Pendidikan, Finlandia yang dengan anggaran hanya sebesar 13% telah berhasil memposisikan pendidikannya sebagai terbaik didunia -versi The Economist 2005, tentunya menjadi bukti peran manajemen pendidikan dan strong and positive will dari stakeholder pendidikan suatu negara. Alokasi anggaran pendidikan finlandia2 menunjukkan pendekatan pendidikan yang beragam, termasuk didalamnya pendidikan politeknik dan vocational (berorientasi pada skill). Selain itu sestim di negara ini memberikan tanggung jawab yang besar kepada guru untuk merumuskan materi dan pola pendidikan –dengan merujuk pada tantangan pendidikan terkini dan masa mendatang (Tim peneliti PSIK, 2008).

b. Insentif, Berdasarkan laporan Europan Comission 2003, UE (Uni Eropa) memecahkan masalah ini dengan memberikan suntikan dana sebesar 500 juta euro per tahun. Dana yang dikucurkan mulai awal 2000 digunakan untuk membantu pembiayaan struktur konversi, rantai pemasaran, dan pembinaan mutu hasil pertanian (Adhi, dalam Yustika 2005). Pemerintahan negara berkembang seperti Indonesia jelas tidak mungkin disamakan dengan negara-negara maju UE. Untuk mengatasi masalah ini tentunya pemerintahan negara berkembang seperti Indonesia tentunya sulit untuk bekerja sendirian. Maka bantuan sektor swasta sebagai investor mungkin bisa membantu mengatasi masalah ini. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan win-win solution (antara petani dan Investor).

2. Dimensi Mezzo

Permasalahan kepercayaan (trust) terhadap elemen pemerintahan ini memang bukan persoalan yang mudah. Mengingat mental tidak ingin membangun dari sebagian aparat ini seolah telah menyebar mulai dari level atas hingga bawah. Oleh karena itu peran lembaga independen (seperti NGOs, maupun lembaga baru yang mungkin untuk dibentuk jika diperlukan) yang bertugas mengawasi kinerja mereka diperlukan untuk menjamin berjalannya peran dari masing-masing elemen tersebut.

3. Dimensi Mikro

Permasalahan moral, Seperti halnya metode mata cacing yang digunakan M. Yunus3 dalam memecahkan masalah kemiskinan, maka pemecahan permasalahan moral di tubuh petani tidaklah terlalu berbeda. Dibutuhkan pemberian penyadaran dan pencerahan kepada petani menyangkut masalah tersebut.

Maka instrumen yang telah ada seperti penyuluh lapangan sudah saatnya dibekali dengan pengetahuan keagamaan. Sehingga arahan yang diberikan pada petani tidak hanya menyangkut hal yang bersifat teknis namun juga moral. Selain itu peran institusi masjid, gereja, dan lainnya juga perlu ditingkatkan perannya, mengingat besarnya sumbangsi institusi-institusi ini dalam pembentukan individu-individu yang bermoral.

Catatan Kaki

1. Yakni melakukan urbanisasi –yang tentunya mengakibatkan permasalahan sosial baru di perkotaan, maupun melakukan cara-cara curang dalam menjalankan usaha taninya.

2. Pada 1996 dialokasikan: pendidikan dan riset universitas (23%), pendidikan politeknik (4%), pendidikan umum dan vocational (37%), pendidikan orang dewasa (9%), bantuan keuangan untuk mahasiswa (14%), lain-lain (13%). (Finland Goverment website, dalam PSIK).

3. Pemecahan kemiskinan yang dilakukan dengan memberi bantuan langsung kepada objek penderita kemiskinan tersebut.

Daftar Pustaka

Buku

Adhi, Andriyono K, dan Eri Trinurini, dalam Ahmad Erani Yustika. 2005. Menjinakkan Liberalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Adi, Isbandi R. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press.

Hettne, Bjorn. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Jakarta: Gramedia.

Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press.

Sukirno, Sadono. 2007. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Jakarta: Kencana.

Tim Peneliti PSIK. 2008. Negara Kesejahteraan dan Globalisasi. Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina.

World Bank. 2008. Laporan Pembangunan Dunia 2008: Pertanian Untuk Pembangunan, Jakarta: Salemba Empat.

Yunus, Muhammad. 2007. Bank Kaum Miskin. Depok: Marjin Kiri.

Jurnal, Makalah, Artikel, Berita

Berita Resmi BPS. No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007. Angka Kemiskinan di Indonesia 2007. BPS.

Dharmawan, Arya H. 2006. Pendekatan-Pendekatan Pembangunan Pedesaan dan Pertanian: Klasik dan Kontemporer. IPB.

Syahyuti. Pembangunan Pertanian Indonesia Dalam Dalam Pengaruh Kapitalisme Dunia : Analisis Ekonomi Politik Perberasan. Litbang Deptan: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Sumber: abduh1985.multiply.com

Prinsip-prinsip Pertanian Organik

Senin, 10 Mei 2010

Prinsip-prinsip berikut merupakan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan pertanian organik. Prinsip-prinsip ini berisi tentang sumbangan yang dapat diberikan pertanian organic bagi dunia, dan merupakan sebuah visi untuk meningkatkan keseluruhan aspek pertanian secara global. Pertanian merupakan salah satu kegiatan paling mendasar bagi manusia, karena semua orang perlu makan setiap hari. Nilai- nilai sejarah, budaya dan komunitas menyatu dalam pertanian. Prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pertanian dengan pengertian luas, termasuk bagaimana manusia memelihara tanah, air,tanaman, dan hewan untuk menghasilkan, mempersiapkan dan menyalurkan pangan dan produk lainnya. Prinsip-prinsip tersebut menyangkut bagaimana manusia berhubungan dengan lingkungan hidup, berhubungan satu sama lain dan menentukan warisan untuk generasi mendatang.

Prinsip-prinsip tersebut mengilhami gerakan organik dengan segala keberagamannya. Prinsip-prinsip ini menjadi panduan bagi pengembangan posisi, program dan standar-standar pertanian. Selanjutnya, prinsip-prinsip ini diwujudkan dalam visi yang digunakan di seluruh dunia

Pertanian organik didasarkan pada:

Prinsip kesehatan
Prinsip ekologi
Prinsip keadilan
Prinsip perlindungan

Setiap prinsip dinyatakan melalui suatu pernyataan disertai dengan penjelasannya. Prinsip-prinsip ini harus digunakan secara menyeluruh dan dibuat sebagai prinsip-prinsip etis yang mengilhami tindakan.

Prinsip Kesehatan

Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan.

Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia.

Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari system kehidupan. Hal ini tidak saja sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, social dan ekologi. Ketahanan tubuh, keceriaan dan pembaharuan diri merupakan hal mendasar untuk menuju sehat. Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Mengingat hal tersebut, maka harus dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif makanan yang dapat berefek merugikan kesehatan.


Prinsip Ekologi

Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan

Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam system ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Makanan dan kesejahteraan diperoleh melalui ekologi suatu lingkungan produksi yang khusus; sebagai contoh, tanaman membutuhkan tanah yang subur, hewan membutuhkan ekosistem peternakan, ikan dan organisme laut membutuhkan lingkungan perairan. Budidaya pertanian, peternakan dan pemanenan produk liar organik haruslah sesuai dengan siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Siklus-siklus ini bersifat universal tetapi pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal. Pengelolaan organic harus disesuaikan dengan kondisi, ekologi, budaya dan skala lokal. Bahan-bahan asupan sebaiknya dikurangi dengan cara dipakai kembali, didaur ulang dan dengan pengelolaan bahan-bahan dan energi secara efisien guna memelihara, meningkatkan kualitas dan melindungi sumber daya alam

Pertanian organik dapat mencapai keseimbangan ekologis melalui pola sistem pertanian, membangun habitat, pemeliharaan keragaman genetika dan pertanian. Mereka yang menghasilkan, memproses, memasarkan atau mengkonsumsi produk-produk organik harus melindungi dan memberikan keuntungan bagi lingkungan secara umum, termasuk di dalamnya tanah, iklim, habitat, keragaman hayati, udara dan air.

Prinsip Keadilan

Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.

Keadilan dicirikan dengan kesetaraan, saling menghormati, berkeadilan dan pengelolaan dunia secara bersama, baik antar manusia dan dalam hubungannya dengan makhluk hidup yang lain.

Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan yang manusiawi untuk memastikan adanya keadilan bagi semua pihak di segala tingkatan; seperti petani, pekerja, pemroses, penyalur, pedagang dan konsumen. Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan. Pertanian organic bertujuan untuk menghasilkan kecukupan dan ketersediaan pangan maupun produk lainnya dengan kualitas yang baik.

Prinsip keadilan juga menekankan bahwa ternak harus dipelihara dalam kondisi dan habitat yang sesuai dengan sifat-sifat fisik, alamiah dan terjamin kesejahteraannya. Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan untuk produksi dan konsumsi harus dikelola dengan cara yang adil secara sosial dan ekologis, dan dipelihara untuk generasi mendatang. Keadilan memerlukan sistem produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil, dan mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan yang sebenarnya.

Prinsip Perlindungan

Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup.

Pertanian organik merupakan suatu sistem yang hidup dan dinamis yang menjawab tuntutan dan kondisi yang bersifat internal maupun eksternal. Para pelaku pertanian organic didorong meningkatkan efisiensi dan produktifitas, tetapi tidak boleh membahayakan kesehatan dan kesejahteraannya.

Karenanya, teknologi baru dan metode-metode yang sudah ada perlu dikaji dan ditinjau ulang. Maka, harus ada penanganan atas pemahaman ekosistem dan pertanian yang tidak utuh. Prinsip ini menyatakan bahwa pencegahan dan tanggung jawab merupakan hal mendasar dalam pengelolaan, pengembangan dan pemilihan teknologi di pertanian organik. Ilmu pengetahuan diperlukan untuk menjamin bahwa pertanian organik bersifat menyehatkan, aman dan ramah lingkungan. Tetapi pengetahuan ilmiah saja tidaklah cukup. Seiring waktu, pengalaman praktis yang dipadukan dengan kebijakan dan kearifan tradisional

menjadi solusi tepat. Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko merugikan dengan menerapkan teknologi tepat guna dan menolak teknologi yang tak dapat diramalka nakibatnya, seperti rekayasa genetika (genetic engineering). Segalakeputusan harus mempertimbangkan nilai-nilai dan kebutuhandari semua aspek yang mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses-proses yang transparan dan partisipatif

Sumber: http://www.ifoam.org

Menteri Pertanian, Kowani Teken MoU Penganekaragaman Pangan

Sabtu, 08 Mei 2010

Penulis : Siska Nurifah
JAKARTA--MI: Menteri Pertanian RI Suswono bersama Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang diwakili Dewi Motik, sepakat melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dan pencanangan Gerakan Hari Tanpa Nasi Mendukung Gizi Seimbang untuk Kesehatan dan Kecerdasan Anak.

Kesepakatan tersebut dalam upaya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal agar terwujud komsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman dalam jumlah dan komposisi yang cukup, guna memenuhi kebutuhan gizi.

Disamping itu pegurangan konsumsi beras juga menjadi fokus utama gerakan ini. "Dengan gerakan ini saya yakin bahwa penurunan konsumsi beras sebesar 1,5% pertahun akan dapat dicapai," tegas Suswono di Jakarta, Jumat (7/5).

"Suatu saat kita akan kesulitan menanam padi karena suasana iklim yang berubah-ubah. Ini merupakan tantangan bagi sektor pertanian. Mengingat konsumsi beras perkapita secara nasional masih tinggi. Dan kondisi tersebut akan menyulitkan kita di masa akan datang karena penduduk bertambah terus sekitar 1,34% per tahun," ungkap suswono.

Suswono mengungkapkan bahwa saat ini ketergantungan Indonesia terhadap beras sangat tinggi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi beras di Indonesia sebanyak 139 kg/kapita/tahun. Untuk konsumsi rumah tangga 110 kg per kapita per tahun. Sedangkan negara lain konsumsi berasnya lebih rendah, seperti Malaysia 90 kg/kapita/tahun, Brunei 80 kg/kapita/tahun, dan Thailand 70 kg/kapita/tahun. "Kami menargetkan 2014 sudah harus dibawah 100 kg per kapita per tahun," tegasnya.

Pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan dalam dua tahapan, yaitu tahap I (2009-2011) dan tahap II (2012-2015). Keberhasilan gerakan tersebut ditentukan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) dimana apabila tercapai kondisi skor PPH 88,1 pada tahun 2011 dan skor PPH 95 pada tahun 2015. (*/OL-03)

Sumber: www.mediaindonesia.com

ACC in Action

Rabu, 05 Mei 2010

ACC beraksi...
Yang muda yang berprestasi....
Tunjukkan kreasi jadi sensasi...
Persembahan unutk Negeri....

Masalah-masalah Pertanian di Indonesia

Senin, 03 Mei 2010

Masalah-Masalah Pertanian
1. Masalah Birokrasi
2. Masalah lahan pertanian
3. Kondisi sosial petani
4. Kepemilikan tanah
5. Mentalitas petani
5. Ketrampilan petani
6. Masalah modal
7. Pasar dan tata niaga
8. Organisasi petani
9. Tekhnologi
10. Informasi
11. Kebijakan

 
 
 
 
Copyright © Agri Care Community